“Rumahbuntu”
Leluhur Morga Purba Pakpak Rumahbuntu
Pagi ini, 07 Januari 2011, matahari tidak kelihatan terbit di ufuk Timur karena terhalang oleh mendung menutupi bumi Habonaron do Bona sebelah Simalungun Atas. Beberapa rintik air hujan jatuh tepat di kaca depan mobil saya tapi belum sampai mengganggu pandangan mata ke depan. Inilah hari di mana saya berziarah ke Bagodborno. Bagodborno adalah satu desa yang sudah berdiri sejak zaman kerajaan di Simalungun dan masa penjajahan Belanda. Didirikan oleh seorang yang bermarga Purba yang tidak tahu lagi siapa nama aslinya namun biasa dikenal dengan nama “Rumahbuntu”. Disebut Rumahbuntu karena konon rumahnya didirikan di bagian tanah yang lebih tinggi di lokasi istana kerajaan. Selain Rumahbuntu, ada dua orang lagi saudaranya, yakni Rumahtongah dan Rumahbolon. Tiga bersaudara ini adalah anak dari seorang yang bernama Purba Pakpak. Dari tiga orang bersaudara ini, Rumahbuntu adalah anak tertua, Rumahtongah adalah anak nomor dua dan Rumahbolon adalah anak bungsu. Disebut Rumahtongah karena rumahnya terletak antara Rumahbuntu dan Rumahbolon. Sementara Itu anak nomor tiga disebut Rumahbolon karena dia terpilih menjadi Raja di Kerajaan Purba yang berpusat di Pamatangpurba. Dengan jabatannya sebagai raja maka ex oficio dia menempati rumah istana raja.
Pada suatu ketika Rumahbuntu memilih tempat tinggal yang agak jauh dari istana. Maka dia mendirikan sebuah rumah di Bagodpurba. Dia tinggal di sana bersama sang isteri terkasih. Di sana suami isteri itu melahirkan dua orang anak; satu laki-laki dan satu perempuan. Setelah sepasang anak mereka menikah maka mereka pindah dan membuka perkampungan baru di Bagodborno. Anak laki-laki tadi menurunkan lima anak laki-laki. Empat orang dari lima bersaudara itu pergi merantau ke daerah yang relatif jauh pada masa itu. Seorang yang bernama Adim pergi ke daerah Haranggaol dan membuka kampung Mariahpurba karena dia ditugaskan oleh Raja Purba sebagai spionse untuk memata-matai partuanan Purbasaribu. Kuburan serta tugunya telah dibangun dan diresmikan tanggal 07 Desember 2002 yang lalu di Mariahpurba. Satu orang yang bernama Jaborno pergi ke daerah Sipituhuta dan membuka perkampungan Aekhotang. Satu orang merantau ke daerah Kotarih, satu orang tidak jelas keberadaannya dan satu orang lagi tinggal di Bagodborno "Huta hasusuran" . Keturunan yang tinggal di Bagodborno dikenal di seluruh kerajaan sebagai “silala bosi” karena mereka pintar menempah pisau. Hasil keahlian mereka tersebut mereka jual ke Haranggaol dengan menempuh perjalanan empat sampai lima jam berjalan kaki.
Semenjak kemerdekaan satu per satu keturunan yang menetap di Bagodborno pindah ke tepi jalan raya yang baru saja dibuka dari Sirpang Gajapongki menuju desa Sipolin. Pemukiman di tepi jalan raya ini kemudian mereka beri nama Pardamean. Desa Pardamen berjarak lima kilo meter dari Sirpang Gajapongki. Sirpang Gajapongki sendiri terletak di antara jalan negara Pamatangsiantar- Kabanjahe, tepatanya di kilo meter 57 bila di ukur dari pusat kota Pamatangsiantar. Pardamean terletak di Nagori Urungpurba, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.
Perjalanan ke Pardamean kami tempuh selama 15 menit dari Sirpang Gajapongki. Melalui jalan aspal yang berlobang-lobang seperti biasanya jalan raya di kabupaten Simalungun, kunjungan saya yang pertama ke tanah leluhur morga Purba Pakpak Rumahbuntu tersebut, saya ditemani Melky Saragih, “panagolan” saya yang tinggal di Sirpang Purbatongah. Sampai di desa Pardamean, kami langsung bertemu dengan seorang ibu boru Saragih dan ternyata merekalah yang mengurus tugo Rumahbuntu tersebut. Mereka menyambut kami dengan ramah sebagai keluarga. Kemudian seorang bapak bernama Saridin Purba datang menyalami kami dan selanjutnya beliaulah yang dengan sukarela memandu perjalanan ziarah kami.
Pertama-tama Pak Saridin Purba membawa kami ke "Tugo" Ompung Rumahbuntu. Tugu yang diresmikan pada tgl 28 Juni 1999 terbuat dari keramik warna pink dan di puncaknya dibangun miniatur rumah adat Simalungun. Bangunan tersebut sederhana bila dibanding dengan bangunan tugu di etnis tetangga, apalagi bila dihadapkan dengan bangunan Monas (Jakarta), Patung Liberty (New York) dan menara Eiffel (Paris). Namun di dalam kesederhanaan "tugo" Rumahbuntu tersebut tersimpan sejuta makna yang dapat menggugah hati. Tumbuhan “Sibontarbunga” yang tumbuh subur di sekeliling bangunan tersebut menggambarkan bahwa tanah Bagodborno adalah tanah leluhur yang terberkati yang amat subur untuk lahan pertanian.
Dari kampung Pardamean kami berjalan kaki menuju ke “Aek” Rumahbuntu. Setelah berjalan kira-kira 15 menit kami sampai di bekas perkampungan Bagodborno yang kini menjadi lahan pertanian yang subur. Sungguh mengagumkan. Tetapi, kekaguman saya hanya bertahan sejenak karena diganggu oleh kehadiran flora (tumbuhan) eukaliptus yang tumbuh menjulang tinggi di lahan berkisar 60 hektare tersebut. Kita tentu tahu bahwa tumbuhan khas Australia yang rakus air dan zat-zat tanah itu pasti diperoleh dari atau diberikan oleh PT. Toba Pulp Lestari kepada masyarakat yang kurang mengerti dampak buruk dari Eukaliptus. PT. TPL (Tangan-tangan Perusak Lingkungan)rupanya sudah masuk jauh menerobos ke pedalaman Simalungun Atas. Kalau PT. TPL dibiarkan begitu saja maka nantinya, setelah kontrak tanah berahir, kita tinggal mewariskan tanah tandus kepada anak dan cucu-cucu kita. Saya berharap bahwa saudara-saudariku di tanah leluhur Habonaron do Bona ini jangan membiarkan hutannya digundul dan tanahnya dieksploitasi oleh PT. TPL.
Dari sana kami teruskan perjalanan dan sampai ke bekas perkampungan Bagodpurba. Bagodpurba merupakan rumah ompung Rumahbuntu yang pertama, yang terletak sebelah Timur Bagodraja dan Pamatangpurba. Di bekas rumah Rumahbuntu itu ada dibangun gubuk kecil berukuran 1x1m di tengah semak belukar dan ilalang tempat “batu” Ompung Rumahbuntu yang ditemukan pada tahun 1982. Ke tempat itu sering orang, khususnya keturunan Rumahbuntu, datang untuk berziarah. Di tempat itu, tepatnya di samping “batu” Rumahbuntu itu saya melihat mangkok putih berisi jeruk purut di atas piring putih. Juga ada kue Ganda, sirih, rokok dari berbagai merek produksi, pisang satu sisir sebagai bukti bahwa ada orang yang baru ziarah serta masih ada terpelihara kepercayaan tradisional dibungkus dengan rasa hormat kepada leluhur.
Setelah 30 menit kami duduk di tempat itu sambil bercerita, kami turun ke bawah tempat “aek” Rumahbuntu. Jalannya sangat sulit dan terjal. Harus berjalan hati-hati sambil memegang akar pohon-pohonan. Di sekitar itu juga tumbuh beraneka jenis pepohonan. Sesekali kami harus merunduk dari batang pohon yang sudah tumbang. Juga tidak ketinggalan dari perhatian kami sekian banyak pohon enau (bagod). Mulai dari bagod yang masih muda, tua yang menjulang tinggi serta yang sudah tumbang dan membusuk. Saya berpikir bahwa inilah bagod yang dahulu “diagati” Ompung Rumahbuntu, sekurang-kurangnya bahwa enau yang sekarang ini adalah anak dari enau yang “diagati” ompung dahulu. Ketika memperhatikan pohon-pohon enau itu saya teringat ketika ziarah ke kota Assisi (Italia) bahwa pohon tempat burung-burung hinggap dan berkicau, yang disuruh Santo Fransisikus Assisi (1182 – 1226) berhenti berkicau, supaya dia jangan terganggu meditasi, ternyata pohon itu dipercayai masih hidup sampai sekarang.
Setelah kami sampai di bawah kami melihat satu pancuran yang terbuat dari bambu. Air yang muncrat dari batu padas itu sangat jernih memancar dan bergabung dengan sungai Bah Banggal Bagodpurba yang berhulu dari Gonting, mirip seperti tempat ziarah Lourdes (Prancis). Dari bekas yang terlihat, dengan mudah dapat kita ketahui bahwa dahulu ada dua pancuran di situ. Dan ternyata benar bahwa menurut penuturan Saridin Purba dahulu ada dua. Satu pancuran untuk keluarga Rumahbuntu dan satu lagi untuk “Boru” mereka yang tinggal di kampung tersebut. Di dekat mata air itu saya melihat sesajian dan menurut kepercayaan sebagian orang bahwa banyak orang sakit yang mendapat kesembuhan setelah mandi di pancuran itu. Setelah cuci muka di pancuran itu, kami naik ke atas untuk kembali dan Sayonara. . . . . Bagodborno, sampai ketemu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar